Bahasan peran pencinta alam sebenarnya adalah sebuah cerita basi, dari dulu sampai sekarang selalu menjadi bahan cerita. Sayang pembahasan ini belum begitu dibarengi dengan langkah-langkah strategis.
Sekian banyak organisasi yang mengatas namakan dirinya sebagai pencinta alam ternyata berjalan beriringan dengan tingginya angka kerusakan lingkungan. Setuju atau tidak, salah satu unsur pengrusakan alam bisa jadi ada dalam aktivitas pencinta alam itu sendiri.
Menjamurnya organisasi penggiat dan pencinta alam atau apapun namanya, yang ada kaitannya dengan Kegiatan Alam Terbuka (KAT). Pada dasarnya dapat mengindikasikan semakin suburnya semangat berorganisasi dan kemauan generasi untuk mengenal lingkungannya. Event-event atau ekspedisi besar kerap dilakukan. Penjelajahan ke tempat-tempat asing yang bernuansa eksotik dan menantang menjadi menu wajib penggiatnya.
Bahkan tak jarang cerita-cerita ini menjadi petuah ampuh para senior yang sudah tinggi jam terbangnya saat berbagi cerita dengan juniornya.
Euphoria dan romantisme pendakian, pengarungan, penelusuran dan pemanjatan pun akhirnya begitu menggema hingga ke generasi berikutnya.
Kisah-kisah haru biru dan menjajal ketangguhan diri ini, kemudian menjadi pengalaman tersendiri bagi pelakunya. Kepuasannya hanya dinikmati para pelakunya. Kendati dokumentasi secara tertulis yang telah dibukukan terkadang menjadi bacaan `best sellers' namun sayang jiwa petualangan begitu mendominasi dibanding upaya dan tindakan yang arif dan bijak terhadap lingkungan atau alam.
Bukan bermaksud meminggirkan sebuah kisah petualangan, tapi kita coba berani melihat ini secara proporsional dan jujur. Sudah sejauh manakah peran kita terhadap perlindungan lingkungan? Apa yang telah kita bhaktikan terhadap lingkungan atau alam?. Kalau dibongkar, secara konservatif sebenarnya dapat kita lihat dalam susunan program kerja yang telah disusun dalam sebuah organisasi pencinta atau penggiat alam yang kita geluti. Berapa prosentasenya, antara aktivitas petualangan dan aktivitas yang berbau penyelamatan lingkungan. Sudahkah ada keberimbangan? Tapi ingat menjawabnya harus dengan sejujur mungkin bukan jawaban benar.
Ada stigma yang lahir dari dahulu, bahwa pencinta alam itu selalu hura-hura, kerjaannya naik gunung terus, kemana-mana selalu bawa ransel atau tas besar dan entah apa isinya. Dan dewasa ini, rasanya stigma ini bukan lagi sebagai ungkapan tapi lebih kepada fakta.
Ternyata kita memang enggan atau mungkin tidak bisa merubah image miring ini. Pencinta alam sudah menjadi mode, membanjirnya produk-produk outdoor di pasaran membuat atribut-atribut pencinta alam bisa dikenakan siapa saja. Sudah tidak zaman lagi celana lapangan hanya dipakai anak gunung, bandana sudah menjadi ikat kepala anak- anak gaul. Miniature cincin kait pun sudah banyak yang dipakai untuk hiasan tas. Yang mirisnya, buat mereka yang memang berlabel pencinta atau penggiat alam pun ternyata ikut terlibas dengan trend mode. Sulit dibedakan mana yang memang anak pencinta alam atau bukan secara
tampilannya. Yang bawa ransel belum tentu anak pencinta alam dan bahkan yang bisa panjat tebit pun tidak mesti harus masuk organisasi pencinta alam terlebih dahulu.
Kisah-kisah haru biru dan menjajal ketangguhan diri ini, kemudian menjadi pengalaman tersendiri bagi pelakunya. Kepuasannya hanya dinikmati para pelakunya. Kendati dokumentasi secara tertulis yang telah dibukukan terkadang menjadi bacaan `best sellers' namun sayang jiwa petualangan begitu mendominasi dibanding upaya dan tindakan yang arif dan bijak terhadap lingkungan atau alam.
Bukan bermaksud meminggirkan sebuah kisah petualangan, tapi kita coba berani melihat ini secara proporsional dan jujur. Sudah sejauh manakah peran kita terhadap perlindungan lingkungan? Apa yang telah kita bhaktikan terhadap lingkungan atau alam?. Kalau dibongkar, secara konservatif sebenarnya dapat kita lihat dalam susunan program kerja yang telah disusun dalam sebuah organisasi pencinta atau penggiat alam yang kita geluti. Berapa prosentasenya, antara aktivitas petualangan dan aktivitas yang berbau penyelamatan lingkungan. Sudahkah ada keberimbangan? Tapi ingat menjawabnya harus dengan sejujur mungkin bukan jawaban benar.
Ada stigma yang lahir dari dahulu, bahwa pencinta alam itu selalu hura-hura, kerjaannya naik gunung terus, kemana-mana selalu bawa ransel atau tas besar dan entah apa isinya. Dan dewasa ini, rasanya stigma ini bukan lagi sebagai ungkapan tapi lebih kepada fakta.
Ternyata kita memang enggan atau mungkin tidak bisa merubah image miring ini. Pencinta alam sudah menjadi mode, membanjirnya produk-produk outdoor di pasaran membuat atribut-atribut pencinta alam bisa dikenakan siapa saja. Sudah tidak zaman lagi celana lapangan hanya dipakai anak gunung, bandana sudah menjadi ikat kepala anak- anak gaul. Miniature cincin kait pun sudah banyak yang dipakai untuk hiasan tas. Yang mirisnya, buat mereka yang memang berlabel pencinta atau penggiat alam pun ternyata ikut terlibas dengan trend mode. Sulit dibedakan mana yang memang anak pencinta alam atau bukan secara
tampilannya. Yang bawa ransel belum tentu anak pencinta alam dan bahkan yang bisa panjat tebit pun tidak mesti harus masuk organisasi pencinta alam terlebih dahulu.
Lalu apa yang membedakannya? , hanya sikap, kepedulian dan nilai-nilai luhur yang dianutnya. Sejatinya, pencinta alam bukan diukur secara penampilan, tapi lebih kepada
nilai, jiwa, sikap, solidaritas, pandangan dan tindakan mereka terhadap penyelamatan lingkungan atau alam. Selain aktif dalam kegiatan alam bebas, mereka juga peduli terhadap perlindungan dan pelestarian dari wadah bermainnya.
Lalu yang menjadi tanda tanya besar sekarang adalah, apakah sikap, kepedulian dan nilai-nilai luhur yang melekat pada anak pencinta alam itu masih ada? Ataukah sudah tergerus dan kemudian sama dengan mereka yang jelas-jelas bukan berlabel pencinta alam?. Pertanyaan serius ini memang tidak mudah dijawab. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa
pada umumnya kita memang lebih terlena pada romantisme petualangan.
Aktivitas-aktivitas kampanye lingkungan, demo-demo atau peringatan hari bumi atau lingkungan tak lebih menjadi sebuah seremonial belaka.
Belum dibarengi dengan pen-darah dagingan nilai-nilai lingkungan dalam jiwa seorang pencinta alam.
Implikasi dari semua ini akhirnya, makin mengukuhkan image miring yang sudah dari dahulu lahir. Tanpa disadari kita sendiri yang ikut melemahkan 'positioning' pencinta alam itu sendiri. Ada analogi sederhana yang mungkin dapat menggambarkan kondisional pencinta alam saat ini. Kita akan mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari kita yaitu, sebagaimana kita ketahui dan dimanapun kita bertanya yang namanya "Gudang Garam" atau "Djarum (jarum)" pasti akan dijawab 'Rokok'. Orang dewasa sampai kecil biasanya akan menjawab dengan jawaban yang sama bahwa Gudang Garam atau Djarum itu adalah salah satu nama merk rokok terkenal yang ada di negara kita. Padahal sesungguhnya makna semantik dari dua kata tadi adalah bahwa Gudang Garam itu adalah gudang atau tempat penyimpanan garam, dan jarum itu adalah alat untuk menjahit.
nilai, jiwa, sikap, solidaritas, pandangan dan tindakan mereka terhadap penyelamatan lingkungan atau alam. Selain aktif dalam kegiatan alam bebas, mereka juga peduli terhadap perlindungan dan pelestarian dari wadah bermainnya.
Lalu yang menjadi tanda tanya besar sekarang adalah, apakah sikap, kepedulian dan nilai-nilai luhur yang melekat pada anak pencinta alam itu masih ada? Ataukah sudah tergerus dan kemudian sama dengan mereka yang jelas-jelas bukan berlabel pencinta alam?. Pertanyaan serius ini memang tidak mudah dijawab. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa
pada umumnya kita memang lebih terlena pada romantisme petualangan.
Aktivitas-aktivitas kampanye lingkungan, demo-demo atau peringatan hari bumi atau lingkungan tak lebih menjadi sebuah seremonial belaka.
Belum dibarengi dengan pen-darah dagingan nilai-nilai lingkungan dalam jiwa seorang pencinta alam.
Implikasi dari semua ini akhirnya, makin mengukuhkan image miring yang sudah dari dahulu lahir. Tanpa disadari kita sendiri yang ikut melemahkan 'positioning' pencinta alam itu sendiri. Ada analogi sederhana yang mungkin dapat menggambarkan kondisional pencinta alam saat ini. Kita akan mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari kita yaitu, sebagaimana kita ketahui dan dimanapun kita bertanya yang namanya "Gudang Garam" atau "Djarum (jarum)" pasti akan dijawab 'Rokok'. Orang dewasa sampai kecil biasanya akan menjawab dengan jawaban yang sama bahwa Gudang Garam atau Djarum itu adalah salah satu nama merk rokok terkenal yang ada di negara kita. Padahal sesungguhnya makna semantik dari dua kata tadi adalah bahwa Gudang Garam itu adalah gudang atau tempat penyimpanan garam, dan jarum itu adalah alat untuk menjahit.
Rasanya akan sedikit sekali yang mau mendefinisikan Gudang Garam atau Jarum tadi dengan definisi diatas. Sebab ini sudah menjadi hal yang biasa dan selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari.
Terlepas dari kemampuan produsennya yang memang jago dalam mempublikasikannya, dua kata tadi hanya sebagai perumpamaan saja, untuk menunjukkan bahwa ada pergeseran makna sebenarnya dari sebuah kata Gudang Garam atau Djarum. Sekarang, istilah tadi kita gantikan dengan "Pencinta Alam" apakah kita akan mendefinisikan dan memaknai ini sesederhana seperti menjawab rokok, sebagaimana halnya ini sudah menjadi kebiasaan kita sehari-hari? Adakah pergeseran makna dari Pencinta Alam sebenarnya saat ini? atau jangan-jangan Pencinta Alam memang sudah sama dengan rokok, hanya sekali pakai. Hidupkan dan bakar lalu menjadi abu.
Pembenahan kemudi ini, pada prinsipnya hanya pilihan bagi kita, toh tanggung jawab kita sebagai umat manusia sudah pasti dituntut kelak, tentang apa yang telah kita perbuat selama ini terhadap alam. Hanya saja sekarang, tuntutan terhadap penyuaraan lingkungan dewasa ini sudah begitu mendesak. Kerusakan sudah terjadi dimana-mana, 97% permukaan bumi ini sudah dikuasai untuk memenuhi kebutuhan manusia, lalu apakah sisanya pun akan kita paksakan juga untuk memuaskannya? .
Sudah menjadi sangat penting bagi anak pencinta alam untuk mendiskusikan ini secara lebih intensif. Materi-materi yang berkaitan dengan lingkungan dalam sistem pendidikan dasar organisasi pencinta alam sudah tak wajar lagi kalau hanya menjadi materi pelengkap atau tambahan.
Terlepas dari kemampuan produsennya yang memang jago dalam mempublikasikannya, dua kata tadi hanya sebagai perumpamaan saja, untuk menunjukkan bahwa ada pergeseran makna sebenarnya dari sebuah kata Gudang Garam atau Djarum. Sekarang, istilah tadi kita gantikan dengan "Pencinta Alam" apakah kita akan mendefinisikan dan memaknai ini sesederhana seperti menjawab rokok, sebagaimana halnya ini sudah menjadi kebiasaan kita sehari-hari? Adakah pergeseran makna dari Pencinta Alam sebenarnya saat ini? atau jangan-jangan Pencinta Alam memang sudah sama dengan rokok, hanya sekali pakai. Hidupkan dan bakar lalu menjadi abu.
Pembenahan kemudi ini, pada prinsipnya hanya pilihan bagi kita, toh tanggung jawab kita sebagai umat manusia sudah pasti dituntut kelak, tentang apa yang telah kita perbuat selama ini terhadap alam. Hanya saja sekarang, tuntutan terhadap penyuaraan lingkungan dewasa ini sudah begitu mendesak. Kerusakan sudah terjadi dimana-mana, 97% permukaan bumi ini sudah dikuasai untuk memenuhi kebutuhan manusia, lalu apakah sisanya pun akan kita paksakan juga untuk memuaskannya? .
Sudah menjadi sangat penting bagi anak pencinta alam untuk mendiskusikan ini secara lebih intensif. Materi-materi yang berkaitan dengan lingkungan dalam sistem pendidikan dasar organisasi pencinta alam sudah tak wajar lagi kalau hanya menjadi materi pelengkap atau tambahan.
Silabusnya menuntut keberimbangan antara olah raga alam bebas dan lingkungan. Dan kedepan, inilah yang akan menjadi salah satu pembeda antara organisasi pencinta alam dan organisasi lain.
Hobi naik gunung tidak mesti harus terhenti karena mau menyelamatkan lingkungan, sebab melindungi lingkungan tidak mesti harus ada event khusus, hari khusus atau jumlah orang yang banyak. Cukup dengan mengantongi sampah dalam baju atau celana kalau tidak ketemu tempat sampah rasanya sudah jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
Rasa-rasanya sudah selayaknya, kemudi yang selama ini agak sedikit melenceng dari pemaknaan sebenarnya tentang pencinta alam harus dibenahi. Sebelum ini berlarut dan menjadi arah jalur atau kebiasaan bagi seorang pencinta alam. Dan orang yang sudah terlanjur atau berkeinginan masuk dalam sebuah organisasi pencinta alam harus bisa membedakan dirinya dengan mereka yang bukan anak organisasi
pencinta alam.
pencinta alam.
Sudah saatnya anak-anak pencinta alam menjadi pembicara dalam seminar-seminar atau diskusi yang membahas tentang lingkungan atau alam. Mereka harus menjadi `opinion leader' dalam isu-isu lingkungan, dan bukan pengekor isu. Bukan tidak mungkin artinya, anak pencinta alam bisa memiliki posisi tawar yang lebih kuat ketika mengkritisi persoalan lingkungan dihadapan publik. Dengan kelengkapan data-data dari perjalanan (pendakian, mis) yang telah dilakukan dan kemampuan lapangan serta ruangan yang tangguh, rasanya tidak ada lagi yang akan memandang sebelah mata anak-anak pencinta alam.
Terakhir, memutar kemudi ini sekali lagi harus diawali dengan kejujuran dan komitmen yang kukuh. berangkatnya hanya dari sebuah pertanyaan sederhana "Sebagai anak Pencinta Alam, apa kontribusi kita terhadap alam??".
Terakhir, memutar kemudi ini sekali lagi harus diawali dengan kejujuran dan komitmen yang kukuh. berangkatnya hanya dari sebuah pertanyaan sederhana "Sebagai anak Pencinta Alam, apa kontribusi kita terhadap alam??".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Saudaraku telah berbagi, semoga apapun masukan Saudaraku akan bermanfaat bagi kami.