Hapuslah air matamu Ibu Pertiwi
Biarkan kami yang bermandi peluh,
bermandi debu dan bermandi lumpur
Biarkan kami yang akan menggendong duka dan laramu
Biarkan kami yang akan memikul semua ini

Tetap Semangat Wahai Anak Bangsa !!!
SEPERTI BURUNG ELANG,
JIKA INGIN TERBANG AKAN BELAJAR TERUS MENERUS SEBELUM BISA MENEMBUS ANGKASA RAYA...
ITULAH PG dan juga para PETUALANG SEJATI

07 Oktober 2010

LINGKUNGAN : Polisi Bubarkan Penghijauan Swadaya

Senin, 20 September 2010 | 02:38 WIB

Cirebon, Kompas - Kepolisian Resor Cirebon di Jawa Barat, Minggu (19/9), membubarkan kegiatan penghijauan swadaya oleh para aktivis lingkungan di Cirebon. Para aktivis yang hendak menghijaukan bukit gundul tidak diperbolehkan menanam pohon karena tidak ada izin dari Polres Cirebon.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, polisi mendatangi lokasi di Bukti Maneungteung, Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon, sekitar pukul 12.00. Saat itu 20-an aktivis yang berasal dari sejumlah organisasi pencinta lingkungan, seperti Petakala Grage, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Rakyat Pembela Lingkungan (Rapel) Cirebon, baru selesai menanam pohon di bukit gundul seluas 5 hektar tersebut.
”Kami diminta agar bubar karena tak ada izinnya. Karena tak ingin berkonflik, kami pun bubar,” kata Deddy Madjmoe, aktivis lingkungan dari Petakala Grage.
Kepala Polres Cirebon Ajun Komisaris Besar Edi Mardiyanto mengatakan, penghijauan di perbukitan Maneungteung tak berizin. Seharusnya para aktivis memberi tahu kegiatan mereka ke polres karena daerah bekas penggalian pasir ilegal itu masih dalam proses hukum. Selain itu, tambah Edi, daerah Maneungteung rawan longsor. ”Ini membahayakan para aktivis sendiri. Kalau terjadi apa-apa, bagaimana?” kata Edi.
Protes
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Ogi mempertanyakan tindakan polisi yang membubarkan aksi penanaman pohon.
Menurut Ogi, polisi ataupun pemerintah seharusnya mendukung kegiatan lingkungan, seperti penanaman pohon, karena merupakan kegiatan positif, apalagi kegiatan itu dilakukan secara swadaya.
”Saya heran mengapa harus ada izinnya karena selama ini kegiatan penanaman pohon, apalagi untuk penyelamatan lingkungan, tidak perlu izin,” katanya.
Menurut Ogi, jika masyarakat dipersulit untuk menanam pohon guna menyelamatkan lingkungan, pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh atas kerusakan lingkungan.
Upri Embreng, aktivis Petakala Grage, mengatakan, para aktivis di Cirebon mau secara sukarela menanam pohon karena Bukit Maneungteung merupakan salah satu pusat resapan air di wilayah timur Cirebon. (NIT)
Sumber : Kompas

Antisipasi Banjir, Tanggul Cisanggarung Dipasangi Bronjong

SUMBER, (PRLM).- Sebagai antisipasi meluapnya Sungai Cisanggarung di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, dinas terkait memasang bronjong di sejumlah titik yang dianggap rawan longsor dan banjir.
Informasi yang dihimpun Rabu (6/10) menyebutkan, pemasangan bronjong itu dilakukan secara serentak, di antaranya di bawah jembatan Pasaleman. Ribuan kubik batu yang dimasukkan ke dalam bronjong besi baja dipasang di tanggul sungai.
Bantaran sungai Cisanggarung di Kab. Cirebon yang masuk wilayah Kecamatan Waled, Pasaleman, Ciledug, Babakan, Pabedilan dan Losari terdapat titik rawan longsor. Hampir seluruh kecamatan memiliki tingkat masalah tersendiri.
Deddy Majmoe, seorang pemerhati lingkungan mengatakan, bantaran Sungai Cisanggarung mengalami kerusakan lingkungan yang cukup parah. "Daya dukung lingkungan di sekitar Sungai Cisanggarung berpotensi dapat memicu terjadinya banjir dan longsor," katanya.
Diakui Deddy, hasil penelusuran LSM Petakala Grage menujukkan pendangkalan Sungai Cisanggarung cukup parah. Hal itu diakibatkan adanya aktivitas galian di bukit Putersari/Puterlumbung Desa Cikeusik dan Desa Cieurih Kecamatan Cidahu, Kab. Kuningan.
Data yang diperoleh menyebutkan, galian ini beroperasi sejak tahun 1990. Lumpurnya mengarah ke barat dan masuk Sungai Ciberes, penyebab banjir lumpur di Ciuyah, Ambit, Gunungsari, Mekarsari, dan Desa Cikulak Kec. Waled.
Pelumpuran itu juga mengarah ke arah timur dan masuk ke Sungai Cisanggarung melalui saluran pembuang. Ironisnya, ada beberapa pabrik pencuci pasir yang bagian lumpurnya dibuang ke saluran, mengarah ke Cisanggarung. Galian di Gunungkarung Cidahu dan bekas galian bukit Maneungteung (Azimut) juga endapan lumpurnya mengarah ke sungai Cisanggarung.
Di sisi lain, lanjut dia, mengalirnya endapan lumpur dari galian Gunung Tukung Desa Waledasem, Kec. Waled, menuju Cisanggarung dan ke arah utara melintasi Bong Cina melalui saluran terus ke Ciberes.
Kasi Data dan Informasi Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung (BBWSCC), Sulistio, mengakui sepanjang sungai Cisanggarung terdapat permasalahan yang mengakibatkan penurunan daya dukung tanggul. Pemasangan beronjong dan upaya antisipasi banjir yang menelan dana hingga miliaran rupiah merupakan bukti kalau pemerintah serius menyikapi masalah Sungai Cisanggarung. (A-146/C-15/das)***
Sumber : Pikiran Rakyat

Protes Kerusakan Alam : Delapan Aktivis Lingkungan Kuburkan Diri

AKIM GARIS/"PRLM"
AKIM GARIS/"PRLM"
SEBANYAK delapan aktivis lingkungan menguburkan diri sebatas dada di Bukit Azimut, Waled, Kab. Cirebon, Kamis (30/9) siang. Mereka memprotes kerusakan di bukit tersebut akibat galian C liar.*
SUMBER, (PRLM).- Dari rencana semula tujuh aktivis lingkungan akhirnya berubah menjadi delapan orang yang menguburkan diri di sekitar bukit Maneungteung atau Azimut di Desa Waled Asem, Kec. Waled, Kab. Cirebon, Kamis (30/9) sekitar pukul 9.45 WIB.
Aksi yang dilakukan para pecinta lingkungan yang tergabung dalam Masyarakat Pecinta Kelestarian Azimut (Mapala) yang terdiri dari sejumlah LSM, organisasi pemuda dan perorangan, di anatara dari Laskar Merah Putih dan LSM Petakala Gerage tersebut sebagai bentuk protes atas eksploitasi besar-besaran di bukit tersebut.
Menurut Adang Djuhandi, humas Mapala, kerusakan bukit Maneungteung tidak bisa ditoleransi. Oleh karenanya, agar segera usut dan tuntaskan, seret pelaku perusakan lingkungan ke meja hijau. "Ini adalah bentuk kezaliman yang merusak kehidupan masyarakat. Lihatlah teman-teman kita rela mengubur diri sebagai protes atas kezaliman tersebut," katanya.
Adang yang sebelumnya memimpin doa sebelum kedelapan aktivis tersebut dikubur hingga sebatas bahu juga meminta agar yang berada di legislatif dan kepolisian mengusut tuntas persoalan Azimut.
Sementara itu, Qorib Magelung Sakti, salah seorang aktivis yang turut dikubur mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kapolri, Kapolda berempati atas rusaknya bukit Azimut dan segera melakukan tindakan yang tegas atas pelakunya.
"Eksploitasi atas bukit itu dilakukan oleh sejumlah pengusaha. Karena terus-terusan dieksploitasi, bukit Azimut pun kini mengalami kerusakan yang sangat parah. Di sisi lain, tanggungjawab pengusaha untuk mereklamasi lingkungan pasca pengerukan pun tidak dilakukan. Lebih parah lagi tindakan aparat hukum nyaris tidak ada," kata Qorib.(A-146/A-147)***
Sumber : Pikiran Rakyat

Deddy Madjmoe : Kegelisahan Penjaga Lingkungan

Selasa, 28 September 2010 | 04:04 WIB

                                            KOMPAS/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM

Siwi Yunita C

Banjir, longsor, dan kerusakan lingkungan menjadi keresahan hidup Deddy Madjmoe (42). Di Ciledug Wetan, desa kecil di pinggir pantai utara Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, aktivis lingkungan ini memilih mengorbankan waktu dan tenaga untuk menggerakkan puluhan warga guna mengembalikan lingkungan desanya agar hijau lagi.

Deddy akrab dipanggil dengan Deddy Kermit. Panggilan Kermit—si katak hijau dalam serial televisi—itu karena sejak SMA tahun 1987 dia suka mendaki gunung dan aktivitas cinta alam lainnya.Deddy, yang sehari-hari bekerja sebagai herbalis, sangat memerhatikan ketidakberesan alam. Ia resah melihat sekawanan rusa dan babi hutan yang turun dari hutan di perbukitan karena kekeringan. ”Ini tidak biasa,” katanya suatu saat.

Deddy menangkap keganjilan alam tersebut. Ia tahu betul ada yang tak beres dan dia tak berhenti mencari tahu penyebabnya.

Dua tahun lalu, Deddy dan kawan-kawan dari Perkumpulan Pencinta Kelestarian Alam (Petakala) Grage, Cirebon, melepaskan induk rusa di hutan Gunung Tilu, perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Induk rusa itu diharapkan bisa berkembang biak secara alami karena populasinya kian menciut akibat perburuan, permukiman, dan perladangan. Namun kini, rusa-rusa itu justru mendekati perkampungan.

Karena penasaran, Deddy dan kawan-kawannya pun mengadakan survei kecil tentang mata air. Hasilnya, ternyata alam memang sudah terdegradasi. Tiga mata air yang ditemukan ternyata semuanya sudah tak lagi menyediakan air berlimpah.

Mata air di hutan Caringin, misalnya, kering pada musim kemarau. Adapun mata air Jamberancak hanya mengalir dengan volume kecil. Hutan-hutan habitat babi dan rusa yang dahulu hijau berubah menjadi ladang tebu dan tambang pasir. Hutan tak lagi menyediakan cukup air untuk penghuninya, seperti rusa dan babi hutan, pada musim kemarau.

Kegelisahan Deddy berlanjut dan mendorongnya untuk terlibat langsung dalam aksi lingkungan. Pada Januari 2010, saat banjir mengepung Cirebon, pemanjat tebing ini mengabaikan pekerjaannya sebagai herbalis.

Setiap hari ia memantau ketinggian air Sungai Cisanggarung yang hampir selalu meluap saat hujan. Di kala warga lain terlelap tidur, ia memilih menjadi sukarelawan siaga banjir dan membantu warga yang kebanjiran.

Saat tanggul desa jebol dan melimpahkan isi sungai ke perkampungan, merendam persawahan, dan usaha batu bata warga, kegelisahan Deddy pun memuncak. Ia berkali-kali mengadu kepada pemerintah tentang derita warga di wilayahnya akibat banjir karena sedimentasi dan jebolnya tanggul. Karena tak segera ditanggapi, ia dan rekan-rekannya pun akhirnya bergerak sendiri.

Bermodal tenaga dan tekad, Deddy bersama warga dan para aktivis di Petakala Grage membangun tanggul darurat secara swadaya. Modalnya hanya bambu, makanan, dan bantuan tenaga dari warga serta karung dari instansi pemerintah. Hasil kerja dari modal sederhana itu untuk sementara bisa memberikan rasa aman bagi warga.

Langkahnya tidak berhenti di situ. Deddy dan kawan-kawan juga merambah ke Kuningan. Mereka berjuang membuat kawasan karst Goa Indrakila di Kuningan agar tetap lestari.

Kawasan yang menjadi habitat tanaman langka dan macan ini dikhawatirkan rusak akibat kegiatan penambangan pasir. Deddy berpikir menjadikan kawasan ini sebagai ekowisata lebih menguntungkan dalam jangka panjang dibandingkan proses penambangan pasir yang jelas-jelas merusak lingkungan.

”Indrakila bisa terpelihara dengan ekowisata. Penduduk pun akan ikut memelihara karena ini sumber ekonomi mereka,” kata Deddy suatu sore ketika menengok kawasan karst Maneungteung di Cirebon.

Tabungan sendiri

Deddy akrab dengan dunia lingkungan sejak SMA. Panjat tebing dan naik gunung adalah kegiatannya sehari-hari. Dari situlah dia mengenal alam sangat dekat. Bahkan, hidupnya kini tak bisa jauh dari tumbuhan dan hewan.

Meski demikian, Deddy tidak hidup dari kegiatannya yang berkaitan dengan lingkungan. Ia justru yang menghidupi kegiatan itu dengan mendirikan organisasi nirlaba Petakala Grage pada 1986 bersama teman temannya.

Setiap kali mengadakan kegiatan, seperti kerja bakti pembangunan tanggul, penanaman pohon, atau pelepasan rusa, ia rela mengorbankan tabungan pribadinya. Padahal, dari sisi materi, ayah satu anak ini hidup sederhana. Sarana transportasinya hanya sepeda onthel dan istrinya masih bekerja sebagai guru honorer di SD Negeri II Ciledug Wetan.

Tentu saja usaha yang dilakukan Deddy tak bisa berhasil tanpa dukungan rekan-rekannya. Sama halnya dengan Deddy, mereka punya jiwa dan kesadaran lingkungan yang tinggi. Untuk hidup, mereka bekerja sebagai mekanik bengkel atau penjahit. Sebagian hasil kerja mereka itu disumbangkan untuk kegiatan pelestarian lingkungan. ”Ini memang panggilan hidup kami, rasanya tidak rela jika pohon dirusak,” ujar Deddy.

Baru-baru ini, Deddy dan 20 kawannya mencoba menghijaukan Bukit Maneungteung di perbatasan Cirebon dan Kuningan dengan tanaman manoa, asam jawa, dan pinang. Seperti langkah sebelumnya, dia melibatkan warga dan menggunakan dana swadaya dari tabungan pribadi mereka.

Bukit itu sejak bertahun-tahun lalu menarik perhatian mereka karena berubah fungsi dari hutan menjadi tambang pasir. Kini separuh bukit telah hilang karena digali pasirnya. Fungsinya sebagai salah satu sumber penyerapan air di wilayah timur Cirebon kini hilang karena tak ada satu pohon pun yang tumbuh.

Gerakan menanam pohon secara swadaya adalah jawabannya karena belum tampak ada tindakan dari pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan hutan tersebut.

Meski bermisi sosial, gerakan Deddy tak selamanya berjalan lancar. Niatnya menghijaukan Bukit Maneungteung seluas lebih dari 5 hektar membuat dia harus berurusan dengan polisi. Polisi melarang kegiatan penanaman pohon di bukit yang kini masih dalam perkara hukum karena penambangan ilegal tersebut.

Namun, jangan sebut dia Deddy Kermit jika menyerah. Dia tetap melanjutkan usaha itu. ”Polisi memegang KUHP sebagai dasar tindakan, tetapi kami pencinta lingkungan berpikir beda. Kalau tidak segera dihijaukan, bagaimana nanti jadinya lingkungan ini,” katanya.

Sumber Kompas
Esprit de corps : DISIPLIN,GIGIH DAN BERANI HIDUP Esprit de corps : DISIPLIN,GIGIH DAN BERANI HIDUP Esprit de corps : DISIPLIN,GIGIH DAN BERANI HIDUP Esprit de corps : DISIPLIN,GIGIH DAN BERANI HIDUP
Ad
Ad