19 Oct 2010
BUKIT Maneungteung yang berlokasi di pinggir jalan perbatasan Cirebon-Kuningan atau tepatnya di Desa Waled Asem, Kecamatan Waled menyimpan banyak cerita masa lalu. Di bukit setinggi 60 meter dari permukaan laut dengan luas 15 hektare itu ditemukan sejumlah fosil binatang purba, terumbu karang, hewan laut serta artefak berupa keramik-keramik peninggalan kerajaan. Namun sayangnya, bukit itu telah rusak, 5 hektarenya hancur akibat dikeruk dengan dalih kepentingan projek tol Kanci-Pejagan.
Jika dilihat dari fosil, moluska, dan terumbu karang yang ditemukan, jutaan tahun yang lalu Maneungteung merupakan kawasan laut. Betapa tidak, biota laut yang terkubur di dalam bukit, pascaberoperasinya galian C di sana menjadi berserakan. Beberapa biota laut yang ditemukan seperti kerang kinjeng, tulang ikan, dan tulang binatang-binatang purba semuanya ditemukan tercecer dan menjadi koleksi benda antik di rumah-rumah warga. Ada pula warga yang tidak tahu mengganggap fosil temuannya itu hanyalah batu biasa dan dibuang begitu saja.
Benda-benda bersejarah itu pertama kali terkuak setelah Lembaga Swadaya Masyarakat Petakala Grage melakukan observasi. Jika digali lebih dalam lagi, Maneungteung bisa mengungkap sejarah-sejarah yang bernilai dahsyat. "Banyak peradaban di Maneungteung dari masa ke masa dan setiap masa meninggalkan bekas. Mulai dari kehidupan purbakala seperti ditemukannya fosil binatang purba. Peradaban kerajaan masa lalu dengan ditemukannya keramik antik mulai dari piring, guci, patung monyet, dan benda-benda unik lainnya. Semen-tara yang berhubungan dengan perlawanan terhadap Belanda, di sana ditemukan bungker yang dibuat sebagai tempat persembunyian. Maneungteung menjadi daerah strategis berperang melawan Belanda," tutur Ketua LSM Petakala Grage Deddy Madjmoe.
KERAJAAN Purwasanggarung sendiri konon berjaya di tahun 300 masehi di era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. "Jika dilihat dari barang-barang yang kami temukan yakni piring, gelas, guci, tempayan, dan barang-barang lainnya bisa jadi Maneungteung sebagai pusat kerajinan dan perdagangan. Dugaan itu juga didukung dengan fungsi Sungai Cisang-garung. Saat itu Cisanggamng menjadi jalur transportasi utama dan lokasi penyeberangan-nya terpusat di sana," tuturnya lagi.
Namun jika dilihat dari gua-gua di atas Bukit Maneungteung, Deddy Madjmoe menduga gua itu mulai dibangun di masa perlawanan terhadap Belanda. "Tidak hanya di Maneungteung, juga di Azimut, Ciuyah Kuningan, Gunung Tiga, dan bukit-bukit di sana. Di Azimut bahkan ada tugu sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda," katanya lagi.
Deddy pun menunjukkan sejumlah temuannya itu, salah satunya fosil tulang-belulang yang diduga tulang binatang purba. Namun, ia belum mengetahui tulang itu merupakan jenis binatang purba seperti apa. Ia juga belum melaporkan hasil temuannya itu ke Balai Arkeologi. "Saya yakin tulang ini ada sambungannya, tetapi sayang, karena bukit ini dikeruk dengan backhoe, rangkaian tulang itu menjadi tidak utuh lagi," tuturnya.
Oleh karena itu, jika dilihat dari kekayaan sejarah yang ditinggalkan, Maneungteung sangat tepat dijadikan sebagai kawasan pendidikan dan penelitian bagi guru-guru sejarah, geografi, dan sebagainya. Temuan di Maneungteung bisa diterapkan dalam muatan lokal di sekolah lanjutan maupun menengah. Jadi tidak perlu jauh-jauh ke kedalaman laut. Cukup ke Maneungteung, kita sudah bisa menemukan kehidupan laut seperti terumbu karang dan hewan laut lainnya," katanya.
Pemerintah daerah harus bergerak mengambil langkah pengamanan terhadap Bukit Maneungteung. Selain menyimpan pengetahuan sejarah untuk ditularkan kepada generasi mendatang, Bukit Maneungteung juga merupakan kawasan karet. Di bukit itulah adanya sumber air karena sebagai tempat resapan air. Oleh karena itu, jika bukit itu habis dikeruk, tinggal menunggu bahaya kekurangan air. "Solusinya, bidang konservasi, harus merekondisi ulang. Minimal ada perbaikan kecil, jangan sampai terjadi bencana yang lebih besar," ujarnya menambahkan. (Alif Santosa/TCC)***
Info : Pikiran Rakyat
Jika dilihat dari fosil, moluska, dan terumbu karang yang ditemukan, jutaan tahun yang lalu Maneungteung merupakan kawasan laut. Betapa tidak, biota laut yang terkubur di dalam bukit, pascaberoperasinya galian C di sana menjadi berserakan. Beberapa biota laut yang ditemukan seperti kerang kinjeng, tulang ikan, dan tulang binatang-binatang purba semuanya ditemukan tercecer dan menjadi koleksi benda antik di rumah-rumah warga. Ada pula warga yang tidak tahu mengganggap fosil temuannya itu hanyalah batu biasa dan dibuang begitu saja.
Benda-benda bersejarah itu pertama kali terkuak setelah Lembaga Swadaya Masyarakat Petakala Grage melakukan observasi. Jika digali lebih dalam lagi, Maneungteung bisa mengungkap sejarah-sejarah yang bernilai dahsyat. "Banyak peradaban di Maneungteung dari masa ke masa dan setiap masa meninggalkan bekas. Mulai dari kehidupan purbakala seperti ditemukannya fosil binatang purba. Peradaban kerajaan masa lalu dengan ditemukannya keramik antik mulai dari piring, guci, patung monyet, dan benda-benda unik lainnya. Semen-tara yang berhubungan dengan perlawanan terhadap Belanda, di sana ditemukan bungker yang dibuat sebagai tempat persembunyian. Maneungteung menjadi daerah strategis berperang melawan Belanda," tutur Ketua LSM Petakala Grage Deddy Madjmoe.
KERAJAAN Purwasanggarung sendiri konon berjaya di tahun 300 masehi di era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. "Jika dilihat dari barang-barang yang kami temukan yakni piring, gelas, guci, tempayan, dan barang-barang lainnya bisa jadi Maneungteung sebagai pusat kerajinan dan perdagangan. Dugaan itu juga didukung dengan fungsi Sungai Cisang-garung. Saat itu Cisanggamng menjadi jalur transportasi utama dan lokasi penyeberangan-nya terpusat di sana," tuturnya lagi.
Namun jika dilihat dari gua-gua di atas Bukit Maneungteung, Deddy Madjmoe menduga gua itu mulai dibangun di masa perlawanan terhadap Belanda. "Tidak hanya di Maneungteung, juga di Azimut, Ciuyah Kuningan, Gunung Tiga, dan bukit-bukit di sana. Di Azimut bahkan ada tugu sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda," katanya lagi.
Deddy pun menunjukkan sejumlah temuannya itu, salah satunya fosil tulang-belulang yang diduga tulang binatang purba. Namun, ia belum mengetahui tulang itu merupakan jenis binatang purba seperti apa. Ia juga belum melaporkan hasil temuannya itu ke Balai Arkeologi. "Saya yakin tulang ini ada sambungannya, tetapi sayang, karena bukit ini dikeruk dengan backhoe, rangkaian tulang itu menjadi tidak utuh lagi," tuturnya.
Oleh karena itu, jika dilihat dari kekayaan sejarah yang ditinggalkan, Maneungteung sangat tepat dijadikan sebagai kawasan pendidikan dan penelitian bagi guru-guru sejarah, geografi, dan sebagainya. Temuan di Maneungteung bisa diterapkan dalam muatan lokal di sekolah lanjutan maupun menengah. Jadi tidak perlu jauh-jauh ke kedalaman laut. Cukup ke Maneungteung, kita sudah bisa menemukan kehidupan laut seperti terumbu karang dan hewan laut lainnya," katanya.
Pemerintah daerah harus bergerak mengambil langkah pengamanan terhadap Bukit Maneungteung. Selain menyimpan pengetahuan sejarah untuk ditularkan kepada generasi mendatang, Bukit Maneungteung juga merupakan kawasan karet. Di bukit itulah adanya sumber air karena sebagai tempat resapan air. Oleh karena itu, jika bukit itu habis dikeruk, tinggal menunggu bahaya kekurangan air. "Solusinya, bidang konservasi, harus merekondisi ulang. Minimal ada perbaikan kecil, jangan sampai terjadi bencana yang lebih besar," ujarnya menambahkan. (Alif Santosa/TCC)***
Info : Pikiran Rakyat
banyak ga kl cari fosil di sungai azimut
BalasHapus