Aktifitas Galian C Desa Cupang, Dipertanyakan..!
Posted on November 19, 2009 Kab. Cirebon, ChakrabuanaPerhutani, adalah lembaga yang berwenang untuk menjaga dan mengelola seluruh hutan di negeri ini, mereka pulalah yang bertanggungjawab terhadap sesuatu yang terjadi disetiap hutan milik Negara.
Namun, apa yang terjadi di desa Cupang Kec. Gempol Kab. Cirebon sepertinya menunjukkan bahwa pihak Perhutani cukup lemah jika tidak disebut sangat lemah dalam hal pengawasan diwilayah kerja atau kekuasaannya. Ini terbukti masih banyak penjarah kayu Negara bahkan terkesan membiarkan kegiatan galian yang diduga illegal yang menggunakan alat berat dan berjalan sudah cukup lama hingga berakibat efek yang sangat buruk pada kehidupan masyarakat sekitar..
Desa Cupang Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon, memiliki wilayah Pangkuan Hutan yang cukup luas, Yakni mencapai 751,90 Ha. Adapun wilayah Pangkuan Hutan tersebut merupakan pengawasan dari BKPH Ciwaringin dan dibawah naungan KPH Majalengka.
Terhitung dari tahun 1989 BKPH Ciwaringin dengan masyarakat Desa Cupang Bekerjasama dalam pengelolaan Hutan, dalam Program membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH), dengan memprioritaskan wilayah hutan seluas 329,90 Ha dijadikan sebagai lahan garapan bagi masyarakat dalam bentuk PS, masyarakat dalam mengolah lahan garapan tersebut melakukan penanaman tanaman dengan ketentuan 25 % bentuk tanaman sela dan sisipan dengan jenis tanaman palawija, dan 75 % tanaman milik Perhutani seperti Kenangga, Mahoni, Kormis, Mangium. Anggota yang tergabung dalam KTH, yang masing-masing memiliki hak garap lahan seluas 0,25 Ha, dalam kerjasama dengan pihak Perhutani diwajibkan memelihara serta menjaga tanaman milik perhutani tersebut, ” pihak Perhutani memprioritaskan Hutan Desa Cupang, supaya hijau dan tentunya dengan kerjasama ini tidak ada yang dirugikan “ menurut asisten Perhutani (asper) Ridwan Nur Anwar, sewaktu ditemui Chakrabuana dikantornya.
Dalam kerjasama tersebut dapat memberikan hilai lebih bagi Anggota KTH yang tentunya mendapat keuntungan berupa materi dari hasil bercocok tanam, begitupun sebaliknya bagi pihak Perhutani sendiri mendapat keuntungan dari produksi kayu.
Namun akhir-akhir ini masyarakat Desa Cupang seakan mengeluh dengan kondisi hutan yang begitu menghawatirkan, mengingat terhitung mulai tahun 2008, sudah berdiri Tiga Perusahaan galian batu serta produksi batu, diantaranya di petak 10c seluas 4,90 Ha termasuk Gunung Leneng, merupakan lokasi galian CV. Bahana Alam, petak 10f seluas 24,90 Ha termasuk Gunung Hanjuang, merupakan galian dari CV. KWS, dan dipetak 11b dengan luas 17,35 Ha termasuk Gunung Picung, merupakan galian CV. Aria . dari ketiga CV tersebut dalam aktivitas penggalian Gunung-gunung diwilayah termasuk hutan pangkuan Desa Cupang, bahkan radius dari lokasi galian begitu dekat terhadap pemukiman penduduk.
Sebagian besar masyarakat mempertanyakan berdirinya tiga Perusahaan tersebut mengingat selama ini masyarakat tidak pernah merasa diajak sosialisasi bahkan persetujuan akan rencana galian. “ selama ini kami tidak pernah diberi tahu, kalau diwilayah kami akan berdiri perusahaan-perusahaan yang akan menggali gunung, namun menurut kabar kalau tiga perusahaan tersebut Legal, dan sudah mengantongi perizinan. “ menurut salah satu tokoh masyarakat yang engan disebut namanya mengungkapkan pada Chakrabuana.
Memang sudah sepatutnya sebuah perusahaan yang melakukan aktivitas galian C harus memiliki perizinan baik perizinan lokasi maupun perizinan pertambangan. “ kami mensinyalir untuk memperoleh perizinan, tiga perusahaan tersebut ada rekayasa dengan pihak aparatur desa maupun Perhutani, sebab masyarakat tidak pernah diajak rapat, bahkan masyarakat maupun pihak Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), tidak pernah menendatangani persetujuan akan berdirinya perusahaan yang akan melakukan galian “. Menurut salah satu tokoh pula menegaskan.
Terjadinya gejolak masyarakat Desa Cupang tidak hanya mempertanyakan proses perizinan tiga perusahaan tersebut, tetapi juga akan dampak dari adanya galian diantaranya pencemaran udara akibat karena debu yang ditimbulkan dari aktivitas produksi, erosi dari gunung yang setiap hari dikikis, maupun akan sumber mata air yang hilang.
Sungguh ironis kalau pihak terkait dari pihak perhutani maupun pemerintahan setempat yang tentunya memiliki program pelestarian hutan malah kerjasama dengan investor mengeruk keuntungan dengan merusak lingkungan, walaupun ada ketentuan reklamasi namun ekosistem yang ada tidak mungkin akan kembali seperti semula. Cip’r
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Saudaraku telah berbagi, semoga apapun masukan Saudaraku akan bermanfaat bagi kami.