DALAM "Diskusi Teknik Kehutanan" akhir tahun lalu di Jakarta, Badan Planologi Departemen Kehutanan mengeluarkan data luas hutan Pulau Jawa yang cukup mengerikan. Luas kawasan yang masih berhutan atau lahan yang masih ditutup pepohonan di Jawa tahun 1999/2000 hanya empat persen. Kawasan itu sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Data ini memang bersifat indikatif, tetapi diambil dari interpretasi citra satelit.
Sungai Cisanggarung, setelah banjir 24 Februari 2009
APABILA melihat distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun di Jawa, di mana 80 persen hujan jatuh di musim penghujan dan sisanya 20 di musim kemarau-dengan kondisi DAS yang sudah tidak mampu lagi menahan dan menyimpan air-dipastikan potensi yang 80 persen itu akan terbuang percuma ke laut tanpa sempat dimanfaatkan. Malah hujan tersebut kerap kali menyebabkan terjadinya banjir yang dirasakan semakin intensif dan signifikan, sementara kebutuhan air di musim kemarau tidak lagi dapat dipenuhi.
Kondisi hutan selalu dikaitkan dengan bencana alam, banjir, dan longsor. Karena itu, luas hutan ideal untuk mendukung keseimbangan ekosistem-seperti yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 tentang Kehutanan-minimal harus 30 persen dari luas wilayah. Luasan hutan itu dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan sumber daya air bagi kehidupan. Malah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat menargetkan luas kawasan hutan di wilayahnya minimal harus 45 persen dari luas wilayah.
Ini mengingat topografi wilayah Jawa Barat yang berbukit dan bergunung-gunung harus dipertahankan hutannya untuk menopang ketersediaan air, baik bagi pertanian, air minum masyarakat, maupun pembangkit tenaga listrik di Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang digerakkan turbin air di ketiga waduk itu merupakan pemasok listrik pada interkoneksi Jawa-Bali. Ketiga waduk ini menampung air dari Sungai Citarum yang kawasan DAS-nya sudah rusak parah.
Sementara itu, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan, kawasan hutan Jawa yang seluas 3.289.131 hektar saat ini keadaannya benar-benar menyedihkan. Sebagai gambaran umum, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan Pulau Jawa yang memerlukan rehabilitasi tercatat 1,714 juta hektar atau mencapai 56,7 persen dari luas seluruh hutan yang ada. Itu terdiri atas hutan lindung dan konservasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta hutan produksi tak berpohonan seluas 1.147.116 hektar.
Kondisi tersebut diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai 9,016 juta hektar sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16 persen dari luas seluruh daratan Pulau Jawa.
Pulau Jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia disesaki oleh 65 persen penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa. Sementara dari sudut potensi air hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia sehingga menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest). "Melihat kondisi Jawa seperti ini, dipandang dari segi pengembangan sumber daya air, sudah termasuk kategori kritis," ungkap Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA) Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam Sjarief.
Menurut Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), kebutuhan air dunia meningkat dua sampai tiga persen per tahun, sedangkan ketersediaan air senantiasa tetap, bahkan cenderung menurun, terutama apabila ditinjau dari segi kualitas. Di Indonesia diperkirakan total kebutuhan air akan meningkat lebih dari 200 persen pada kurun waktu 1990-2020. Dengan kebutuhan yang ada sekarang pun, beberapa sungai di Pulau Jawa pada musim kemarau sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tersebut.
Dengan cepatnya perkembangan pusat-pusat pertumbuhan di kawasan pantai utara Jawa, kebutuhan air meningkat tajam. Namun, perkembangan itu tidak sebanding lagi dengan peningkatan upaya penyediaannya atau bahkan melebihi potensi sumber daya air yang ada. Ini menyebabkan terjadinya defisit air. Terbatasnya tempat- tempat penampungan air serta semakin parahnya kondisi lingkungan dan DAS, menyebabkan terakumulasinya kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Melihat fakta ini, dikhawatirkan pemenuhan kebutuhan air yang memadai bagi masyarakat akan semakin jauh dari jangkauan. Karena itu, perlu dipikirkan dan dicermati bersama upaya-upaya pengembangan sumber daya air yang lebih efektif dan mampu menjawab tantangan di atas. Ini mengingat tekanan akibat pertumbuhan penduduk menyebabkan kecenderungan terjadinya perubahan kondisi daerah hulu sungai serta kerusakan hutan penutup catchment area, yang sebetulnya perlu dijaga guna menjamin tersedianya dan terjamin meratanya keberadaan air sepanjang tahun.
Saluran Maneungteung Setelah banjir Cisanggarung 24 Februari 2009, tebing ini sekarang sudah tidak utuh lagi karena di gali secara liar
DIRJEN SDA menjelaskan, upaya pengembangan wilayah sungai dalam rangka mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya air sekaligus pengelolaan dan konservasi sumber daya air telah dikembangkan di berbagai wilayah sungai di Jawa. Baik yang bersifat single basin maupun multiriver basin, yang semuanya diarahkan agar dapat mengatasi permasalahan air yang ada. Contohnya pengembangan wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Cimanuk-Cisanggarung, Citanduy-Ciwulan, Serayu-Bogowonto, Jratunseluna, dan pengembangan wilayah Sungai Brantas.
Masalahnya, hanya sebagian atau kurang dari 15 persen prasarana pengairan yang mampu menjamin tersedianya air hampir sepanjang tahun, melalui waduk dan reservoir yang ada. Selebihnya seperti bangunan- bangunan bendung pengambilan air bersifat run off river yang mengandalkan sepenuhnya pada fluktuasi air di sungai apabila terjadi kekeringan bangunan ini tidak mampu mengatasinya.
Merunut permasalahan yang dihadapi di Pulau Jawa serta melihat tingkat kekritisan potensi sumber daya air dan penggunaannya, konsep bagaimana menampung air pada saat kelebihan di musim hujan serta mengatur dan memanfaatkan air saat kemarau menjadi sangat relevan.
Roestam Sjarief berpendapat, melihat potensi sumber daya air di wilayah barat Pulau Jawa yang relatif lebih basah dan lebih besar dibanding wilayah tengah dan timur Jawa, adanya gagasan membawa dan mentransfer air dari barat ke timur bukanlah merupakan hal yang tidak mungkin.
Dalam kaitan ini ada baiknya melihat kembali gagasan seorang ahli pengairan, Prof DR Ir Van Blommestein, yang mencoba mengembangkan konsep penataan sumber daya air bagi kesejahteraan umat manusia.
Ketika menyampaikan gagasannya pada pertemuan tahunan persatuan insinyur-Koninklijk Instituut van Ingenieurs-di Batavia tanggal 18 Desember 1948, Van Blommestein menjelaskan konsep penataan air dengan pemikiran sederhana. Di musim hujan kelebihan air ditampung dan disimpan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Pengendalian air semacam ini tidak hanya dapat mengamankan produksi pangan sepanjang tahun, tetapi akan dapat pula menghindari kerusakan dan kerugian karena banjir, khususnya di wilayah pantai utara Pulau Jawa.
Selain itu, melalui pengembangan konsep ini akan dapat pula diperoleh sumber pembangkit tenaga listrik serta dapat pula diwujudkan sarana transportasi melalui alur air yang murah bagi produk-produk pertanian. Pada waktu itu, gagasannya masih terfokus pada penanganan Pulau Jawa bagian barat.
Gagasan awal Van Blommestein adalah untuk pengendalian air perlu dibangun waduk-waduk besar sebagai tempat menyimpan dan mengatur ketersediaan air. Inti dari rencana van Blommestein untuk Pulau Jawa bagian barat adalah pembuatan dua waduk besar di kali Citarum dengan kapasitas total lebih dari 4 miliar meter kubik. Waduk ini akan mampu menjamin kelangsungan pengelolaan daerah pengairan di bagian utara Pulau Jawa bagian barat, sambung-menyambung dari wilayah Serang hingga Pemalang seluas 517.240 hektar. Selain itu, waduk tersebut menyediakan pasokan air ke Kota Batavia bagi penggelontoran saluran di kota sepanjang tahun serta menyediakan tambahan air minum dan penyediaan tenaga listrik guna mendukung pengembangan kawasan industri di Batavia, Cirebon, dan Tegal.
Selanjutnya, dengan membuat saluran-saluran utama dari sistem pengairan ini cukup besar yang mampu dimanfaatkan untuk pelayaran perahu, akan diperoleh sarana transportasi air sepanjang 385 kilometer di wilayah barat. Sementara itu, dengan memanfaatkan keberadaan saluran panjang tersebut (parit raya), pengembangan wilayah dari Serang hingga Pemalang airnya akan dipasok dari 15 sungai, mulai dari kali Sungai Ciujung di ujung barat hingga Kali Rambut dekat Kota Pemalang di ujung timur beserta waduk di kali Citarum, waduk Darma di kali Cisanggarung, dan waduk Malahayu di kali Kabuyutan.
Sungai Cisanggarung, setelah banjir 24 Februari 2009
"Wilayah pengairan itu akan dibagi dalam tujuh rayon. Tiap rayon didukung oleh sekelompok sungai-sungai, dengan sistem tata air "terusan panjang" yang akan diatur dengan pembuatan pintu-pintu pengatur tinggi muka air yang dapat pula melewatkan perahu," papar Roestam Sjarief.
Gagasan Van Blommestein sebagian telah terwujud dengan dibangunnya Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata di Sungai Citarum, Waduk Cacaban di Tegal, serta saluran sepanjang pantura Jawa Barat yang melintang melewati berbagai sungai. Sebenarnya pengembangan saluran panjang ini telah pula dilakukan pada zaman Gubernur Jenderal Daendels di tahun 1800-an, dengan pembangunan saluran pelayaran-Prauwvaar Kanaal-yang menghubungkan Semarang, Demak, terus ke Kudus untuk kepentingan pelayaran dan saluran pembawa air irigasi yang digabungkan dengan saluran induk irigasi Sedadi.
TAHUN 1964 Blommestein mengembangkan gagasannya yang tertuang di dalam rencana pengembangan bagi Pulau Jawa bagian barat menjadi "Pengembangan Sumber Daya Air di Pulau Jawa dan Madura". Di dalam rencana ini, sumber daya air dikembangkan dengan menggabungkan sungai-sungai besar di Pulau Jawa dalam satu kesatuan sistem pengembangan agar senantiasa tersedia air bagi berbagai keperluan, seperti air baku untuk air minum dan untuk industri, pengairan irigasi dan perikanan darat, transportasi air, serta untuk pengembangan pariwisata.
Dasarnya pemikirannya, bagi pengairan dan pengendalian banjir, tidak ada sungai yang secara tunggal dapat diandalkan karena sifat ekstremitas curah hujan di Pulau Jawa yang ditunjukkan dengan musim hujan yang sangat basah dan sebaliknya musim kemarau yang amat kering. Hubungan antarsungai dipandang sangat penting untuk meratakan efek ekstremitas pola hidrologis itu.
Dengan sumber hujan yang berlebih di bagian barat dibanding wilayah lainnya, dapat membantu mengatasi masalah air di bagian timur melalui kanal-kanal penghubung (dapat pula disebut sebagai Parit Raya). Di bagian barat dengan potensi sumber air yang besar dan topografi yang mendukung, dimungkinkan dibangun waduk-waduk besar.
Adapun inti gagasan pengembangan sumber daya air di Pulau Jawa dan Madura di atas adalah dibangunnya suatu kanal panjang (parit raya) dari Waduk Jatiluhur ke timur dengan alternatif. Pertama, kanal dari Waduk Jatiluhur sampai dekat kota Tuban di Jawa Timur diharapkan air dapat mengalir secara gravitasi.
Kedua, kanal dibuat dari Waduk Jatiluhur sampai Sungai Garang di Semarang bagian barat. Pada poin lokasi ini ketinggian air yang tinggal lebih kurang 15 meter di atas permukaan laut (dpl) dipompa sampai ketinggian lebih dari 75 meter dpl, dan melalui saluran buatan dialirkan ke sungai Serang, Sungai Uter, dan Sungai Kedungdowo, kemudian dialirkan ke Sungai Bengawan Solo. Selanjutnya di selatan Kota Tuban dibuat terusan lagi ke selatan Kota Surabaya dan dialirkan ke Pulau Madura melalui polder di Selat Madura.
Menurut Dirjen SDA, gagasan Blommestein pada dasarnya menampilkan peranan suatu terusan transversal dan menggabungkannya dengan pengembangan waduk-waduk penampung air, sebagai syarat utama memeratakan potensi sumber daya air. Ini sekaligus berperan bagi pengendalian banjir dengan membuka peluang meringankan beban banjir pada suatu sungai dan mengalihkan sebagian arus banjir ke sungai lain. Namun, dengan perkembangan kondisi yang terjadi di Pulau Jawa, gagasan cerdas ini belum dapat terwujud.
Seandainya telah ada transversal atau parit raya Serang- Semarang, upaya pengendalian banjir di seluruh pantai utara Pulau Jawa bagian barat dan tengah dapat dilaksanakan secara terpadu. Ini termasuk dukungan terhadap keberlanjutan pengelolaan dan pengembangan lahan-lahan pertanian produktif di sepanjang pantura.
Gagasan Blommestein sebagai salah satu pemikiran cemerlang pengelolaan sumber daya air secara komprehensif dan terpadu dapat memberikan motivasi bagi kita dalam menerapkan kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air ke depan. Khususnya dalam mengatasi krisis air yang semakin berat dan komplek. (edn/dmu)
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut