Hapuslah air matamu Ibu Pertiwi
Biarkan kami yang bermandi peluh,
bermandi debu dan bermandi lumpur
Biarkan kami yang akan menggendong duka dan laramu
Biarkan kami yang akan memikul semua ini

Tetap Semangat Wahai Anak Bangsa !!!
SEPERTI BURUNG ELANG,
JIKA INGIN TERBANG AKAN BELAJAR TERUS MENERUS SEBELUM BISA MENEMBUS ANGKASA RAYA...
ITULAH PG dan juga para PETUALANG SEJATI

23 April 2010

Reformasi Sumber Daya Air di Indonesia


Fabby VCM Tumiwa
INDONESIA membutuhkan reformasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air (SDA). Ada sejumlah alasan mengapa reformasi tersebut perlu dilakukan. Pertama, sektor air di Indonesia tidak mampu untuk memenuhi pertumbuhan dan berbagai tuntutan sebagai konsekuensi akibat meningkatnya populasi.
KEBUTUHAN air untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian meningkat, tetapi gagal dipenuhi dan diantisipasi oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab bagi penyediaan sarana air yang bersih dan memadai.
                                            Galian Maneungteung Waledasem Waled Cirebon (DAS Cisanggarung)
Hal ini dapat dilihat dari reaksi berbagai pihak yang seakan-akan kebakaran jenggot dengan munculnya gejala kekeringan di banyak daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi dan institusi yang mengatur SDA yang ada saat ini sangat kompleks, tumpang tindih, dan tidak relevan terhadap berbagai kecenderungan (trends) yang berlaku. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1974 mengenai Pengairan, serta sejumlah peraturan turunan lainnya yang mengatur sektor air tidak lagi memadai sebagai instrumen hukum dalam mengatur sumber daya air yang perkembangan masalahnya sudah multidimensional.
Dengan desakan dan pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, proses reformasi sektor SDA dimulai sejak tahun 1999. Proses ini diawali dengan menyiapkan perangkat UU Sumber Daya Air yang baru untuk menggantikan UU Pengairan, yang menurut penulis prosesnya dipaksa untuk dipercepat dan tertutup.
Saat ini RUU Sumber Daya Air sedang dibahas di DPR. Upaya lain yang sedang dilakukan adalah melakukan sejumlah perubahan kebijakan di level makro dan mikro, misalnya kebijakan mengenai irigasi, pembentukan sistem dan jaringan data hidrologi nasional.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah reformasi SDA dilandasi oleh paradigma yang tepat dan apakah reformasi tersebut mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi sektor ini?
Dengan membaca RUU Sumber Daya Air, dapat dipahami adanya cara pandang yang berubah atas sumber daya air. Air tidak lagi sekadar barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi.
Pandangan tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapa pun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna keuntungan tertentu.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air. Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air, serta dibutuhkannya investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih.
Perdebatan antarkelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus berlangsung. Kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) menganggap bahwa air sudah seharusnya menjadi bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas negara untuk menyediakannya. Dengan demikian, segala upaya komodifikasi dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan.
Konferensi Dublin mengenai Air dan Lingkungan di tahun 1992 menyatakan bahwa hak dasar (basic right) yang pertama bagi semua umat manusia adalah akses kepada air dan sanitasi dengan harga yang terjangkau (FAO, 1995).
Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak- hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada November tahun lalu mendeklarasikan bahwa air adalah sebuah hak yang hakiki (fundamental right). Komite ini juga menyatakan bahwa air adalah harus diberlakukan sebagai barang sosial dan kultural, dan bukan komoditas ekonomi belaka.
DALAM konteks Indonesia, arah reformasi SDA dapat dilihat dari paradigma dominan yang melandasinya. Dalam RUU SDA, paradigma air sebagai komoditas ekonomi lebih diutamakan. Walaupun dinyatakan bahwa penguasaan air ada di tangan negara dan pengelolaan air harus mempertimbangkan fungsi sosial dan lingkungan, RUU SDA ini membuka kesempatan yang sangat besar bagi upaya komersialisasi dan komodifikasi air.
Indikasinya adalah kesempatan swasta untuk terlibat secara luas dalam pengusahaan air lewat pemberian hak guna usaha. Jika sebelumnya sektor swasta hanya terlibat pada pengusahaan dan pengelolaan air minum, RUU SDA memungkinkan peran swasta pada seluruh bidang perairan, dari penyediaan air bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk pertanian.
Penjelasan pasal RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan badan usaha dan perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan. Bentuknya dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya.
Implikasi dari dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air dan harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal.
Prinsip tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin kota dan petani kecil adalah contoh kelompok-kelompok yang rentan terampas hak dasarnya atas air.

Dominannya paradigma air sebagai komoditas ekonomi dalam RUU SDA melahirkan sejumlah tantangan untuk memenuhi tujuan akhir dari proses reformasi ini, yaitu penyediaan air yang efisien dan berkeadilan (equitable). Sangatlah penting memberi perlindungan terhadap hak atas air sebagai hak dasar umat manusia dari upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan dan menjamin bahwa reformasi sumber daya air dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi kelompok miskin dengan harga yang terjangkau.
                                             Galian Maneungteung Waledasem Waled Cirebon (DAS Cisanggarung)
Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto, Jepang, menyatakan bahwa 80 persen populasi belum memiliki akses kepada air yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk memenuhi hak dasar rakyat Indonesia atas air. Namun, kenyataannya, untuk dapat memenuhi kewajiban tersebut, diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan infrastruktur pengairan, pemulihan, dan perawatan sumber daya air.
Diperkirakan, pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 5,1 triliun setiap tahun untuk menyediakan air bersih bagi 40 persen populasi sampai tahun 2015. Di tengah masalah ekonomi, penyediaan dana tersebut menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah.
Keterlibatan sektor swasta dalam berinvestasi di sektor ini mungkin dapat menjadi salah satu solusi. Akan tetapi, jika tidak diatur dengan hati-hati, dampaknya akan meningkatkan harga jual air yang justru dapat membatasi dan mengurangi akses masyarakat atas air bersih dan sanitasi.
UNTUK mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan beberapa hal. Pertama, melakukan pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap biaya modal dari suatu investasi swasta dalam pengusahaan sumber daya air untuk mencegah pembebanan harga/tarif yang berlebihan kepada publik. Kedua, perlu mekanisme subsidi yang terarah yang menutupi kesenjangan (gap) antara tingkat kemampuan membayar masyarakat dan harga penyediaan air yang wajar. Mekanisme ini dapat menjadi alat pemerataan keadilan jika dirancang secara baik dan tepat.
Mekanisme lain yang menjamin hak dasar rakyat atas air dan perlindungan dari eksploitasi yang berlebihan akibat ketidaksempurnaan pasar harus terus dielaborasi dan direalisasikan. Ketiga, mendorong otoritas-otoritas yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pengusahaan air untuk menjalankan sistem yang transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan partisipasi publik yang efektif guna menjamin check and balances.
Tantangan lainnya adalah bagaimana agenda-agenda reformasi SDA dapat diarahkan pada upaya-upaya yang berwawasan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat dan menjamin ketersediaan air bagi generasi yang akan datang. Prinsip-prinsip konservasi dan pemeliharaan harus mendapatkan prioritas utama. Prinsip pembuat polusi harus membayar mahal (polluters pay principle) harus diterapkan secara konsisten untuk mencegah kerusakan sumber daya air yang lebih luas. Di lain pihak, masyarakat harus mulai belajar melakukan penghematan penggunaan air sebagai wujud pengakuan hak orang lain atas air.
Sejumlah tujuan yang disebutkan di atas tidak akan dapat tercapai tanpa, pertama-tama, memiliki struktur manajemen air yang baik yang memiliki sumber daya modal dan manusia untuk menjalankan sistem yang efisien, efektif, dan responsif. Pemerintah mau tidak mau harus melakukan investasi sumber daya manusia dan finansial dalam sistem pengelolaan air yang dimiliki.
                                            Galian Maneungteung Waledasem Waled Cirebon (DAS Cisanggarung)
Efisiensi dalam sistem pengelolaan sumber daya air tidak melulu harus dipaksakan pada bentuk pengelolaan oleh swasta, sebagaimana yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral, khususnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Ada banyak contoh di mana pengelolaan sumber daya air berbasis kepemilikan dan manajemen publik berhasil baik.
Sejumlah penelitian menyatakan bahwa utilitas air milik publik dapat bekerja dengan baik apabila utilitas itu dikelola dengan melibatkan peran yang aktif dan konstruktif dari serikat pekerja, transparan, dan bertanggung jawab atas konsumen atau pengguna air serta manajemen yang otonom dan bebas dari interferensi politik.
Reformasi SDA harus mampu mempersiapkan aspek kelembagaan dan peraturan yang dapat menjadi platform bersama bagi tujuan-tujuan di atas.
Fabby VCM Tumiwa Direktur Yayasan Gemi Nastiti (GENI) Salatiga, serta Pengamat Masalah Air dan Energi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Saudaraku telah berbagi, semoga apapun masukan Saudaraku akan bermanfaat bagi kami.

Esprit de corps : DISIPLIN,GIGIH DAN BERANI HIDUP Esprit de corps : DISIPLIN,GIGIH DAN BERANI HIDUP Esprit de corps : DISIPLIN,GIGIH DAN BERANI HIDUP Esprit de corps : DISIPLIN,GIGIH DAN BERANI HIDUP
Ad
Ad