TIDAK padunya penanganan air harus berhadapan dengan antrean masalah. Sejumlah masalah merupakan faktor alam maupun iklim global. Seperti karakteristik wilayah tropik di mana 80 persen dari total aliran permukaan tersedia pada musim hujan yang berdurasi lima bulan. Sementara pada musim kemarau yang berlangsung tujuh bulan, hanya menyediakan 20 persen air untuk aliran permukaan. Belum lagi efek global La Nina dan El Nino yang datang bergantian.
Faktor alam lalu berkawan dengan kerusakan hutan yang merusakkan kemampuan tanah meresap air, terutama di daerah aliran sungai (DAS). Hal ini ditambah rusaknya prasarana irigasi seperti waduk dan saluran yang sedianya dibuat untuk "mengakali" alam. Semua hal itu lalu berkolaborasi membentuk suatu manajemen air yang buruk. Padahal, prinsip manajemen air sebenarnya tidak muluk-muluk: bagaimana caranya mengendalikan kedatangan air yang tidak merata itu.
Neraca air di Jawa-Bali selama tahun 2003, kebutuhan mencapai 38,4 miliar kubik, sementara yang tersedia hanya 25,3 miliar meter kubik. Perkiraan Badan Meteorologi Geofisika tentang kondisi musim kemarau di tahun 2003, tingkat kerawanan kekeringan terjadi di 12 kabupaten di Jawa Barat, yaitu Indramayu, Tasikmalaya, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Sumedang, Garut, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Serang, dan Pandeglang. Sementara di Jawa Tengah enam kabupaten, yaitu Pati, Sragen, Boyolali, Wonogiri, Cilacap, dan Rembang. Di Jawa Timur ada dua kabupaten, yaitu Lamongan dan Tulungagung.
Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengungkapkan, krisis air bersih terparah terjadi di DKI Jakarta, sedangkan Jawa Barat mulai krisis air untuk tanaman. Kondisi di Jateng belum begitu parah. "Wonogiri akan menjadi tolok ukur kekeringan di wilayah itu," kata Menteri.
Di Jabar, selain terjadi kekeringan di Kabupaten Bandung, kondisi terberat terjadi di Indramayu, Cirebon, Majalengka, dan Subang. Di sini sudah terjadi konflik perebutan air bersih untuk perumahan dan pertanian. Saat warga meminta air satu meter kubik/detik untuk air bersih perumahan, petani tak mengizinkan. Di beberapa bendungan, pintu air sudah dikuasai preman sehingga siapa yang bisa membayar, dia yang mendapat air bersih itu.
Di Jawa Tengah, dua kabupaten/kota rawan kekeringan, pertanian rusak, dan poso. Jumlah kerugian sampai minggu lalu 30.000 KK kesulitan airkarena keringnya embung. Di Jatim, beberapa daerah sudah dianggap rawan, seperti Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya dan Pasuruan. "Masalah ini harus dilihat secara luas, tidak bisa kekeringan sendiri atau banjir sendiri," timpal Roestam.
Air yang jatuh ke permukaan tanah dan potensial menimbulkan banjir diupayakan agar meresap ke dalam tanah. Untuk itu, permukaan DAS harus maksimal menyerap air. Air hujan yang secara optimal meresap ke dalam tanah itu nantinya akan mengisi sumber- sumber air yang ada di danau, situ, sungai, dan waduk. Tujuannya, pada musim kemarau, saat hujan hampir tidak ada, debit airnya bisa tetap terjaga. "Masalah banjir diatasi dengan cara itu. Dengan demikian, akan mengatasi masalah kekeringan juga," tambah Roestam.
KONSEP di atas kertas atau di kepala lebih sering berhadapan dengan kondisi nyata di lapangan. Penggundulan hutan yang semakin lama semakin ke arah hulu sungai membuat kemampuan DAS menyerap air berkurang. Jumlah air permukaan yang mengalir menjadi lebih banyak. Dengan menggunakan istilah run off coefficient, yaitu jumlah air yang mengalir dibanding jumlah air hujan yang turun dapat dilihat akibat yang ditimbulkan rusaknya hutan. Menurut Roestam, untuk daerah DAS berhutan, run off coefficient mencapai 0,1-0,15, atau dari 100 mm air hujan yang menjadi sungai hanya 10 mm. Sementara untuk daerah terbuka, seperti aspal, coef bisa sampai 1.
Ujung-ujungnya memang kemampuan penyerapan ini tergantung pada penggunaan tanah yang kalau dilihat dari kacamata kebijakan tergantung rencana tata ruang. Masalahnya, rencana tata ruang lebih banyak yang tidak komprehensif. Bagai memakai kaca mata kuda, mata pembuat kebijakan hanya melihat uang sebagai tujuan komersial, sementara perlunya keberadaan kawasan konservasi untuk air sama sekali tidak terlintas di pikiran.
Kondisi yang ada saat ini, menurut Roestam, dari 30 persen kawasan DAS yang idealnya tersedia, hanya tersisa 18 persen. Angka ini berbeda dengan catatan Kompas berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan yang datanya berdasarkan citra satelit, luas daerah yang tertutup hutan tinggal empat persen.
Dengan kondisi seperti itu, dengan mudah disimpulkan, Pulau Jawa tidak jauh dari lubang jalan yang tidak kunjung diperbaiki: hujan besar akan timbulkan masalah banjir, sebaliknya pada musim kemarau, alam tidak bisa mengisi ulang karena tidak ada cadangan sehingga terjadi kekeringan.
Jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun 1984 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 22 buah. Tahun 1992 meningkat 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS. Kini dari total 62 DAS kritis di Indonesia, 26 ada di Jawa. Kemiskinan yang melatarbelakangi tindakan masyarakat, menurut Roestam, merupakan penyebab utama. Di Jawa dengan jumlah penduduk yang banyak dan padat, masyarakat cari kehidupan dengan membuka lahan baru mendekati hulu. Akibat perambahan dan oknum-oknum yang terus merajalela, hutan Jawa menjadi gundul.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan, dengan majunya musim kekeringan tahun ini, selain kekurangan air untuk pengairan di lahan-lahan pertanian, juga terjadi penderitaan warga akan krisis air bersih. Sebagai contoh, warga Jakarta dan sekitarnya menghadapi kekurangan pasokan air. Dulu terdapat sekitar 49 situ atau danau kecil antara Bogor dan Jakarta. Sekarang, banyak situ diuruk dijadikan rumah dan pusat-pusat perbelanjaan. Padahal, situ itu untuk menahan air.
Sungai yang ada di Jakarta pun sudah hitam karena pencemaran sehingga tidak bisa menjadi sumber air bersih masyarakat. Air makin sedikit, sedangkan pencemaran tetap malah cenderung bertambah. Maka, makin kental pencemarannya. Air yang tadinya bisa untuk menyiram tanaman, mencuci mobil, sekarang tidak bisa lagi. Bahkan, ada tanda peningkatan penyakit diare yang cukup besar dan dikhawatirkan terjadi perebutan akses air tanah antara industri dan domestik.
Untuk lahan- lahan pertanian yang mengalami kekeringan, Roestam mengatakan, sebenarnya pemerintah telah mengantisipasi hal tersebut.
Caranya, pemerintah membuat rencana pola tanam yang di kabupaten ditangani oleh oleh Komisi Irigasi. Komisi ini terdiri atas Dinas Pengairan, Bapedda, P3A, dan BMG, Dinas Pertanian, dan tentu saja wakil petani. BMG memberikan informasi prediksi jumlah curah hujan dan air yang tersedia. Selanjutnya rencana tanam disesuaikan dengan prediksi yang ada. Misalnya, dengan jumlah curah hujan yang hampir pasti kurang, tidak seluruh areal ditanami padi, sebagian saja. "Sebagian ditanami palawija, sebagian padi sehingga cukup airnya," katanya.
Namun, pada prakteknya petani sering kali melakukan spekulasi dengan menanam padi dengan harapan akan ada hujan di musim kemarau sesuai dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Akibatnya, kebutuhan meningkat sehingga air pasti tidak cukup.
Data di Departemen Kimpraswil, dampak kekeringan bagi Pulau Jawa mencapai 11,6 persen dari luas sasaran masa tanam (MT) II 1,8 juta hektar, yaitu 209.332 hektar. Kekeringan terbesar terjadi di Jawa Barat yaitu 141.793 hektar sawah yang merupakan 22,5 persen dari sasaran MT II, 11.590 hektar diantaranya mengalami puso. Kekeringan sawah di Jawa Tengah juga cukup besar, yaitu 47.823 hektar atau 20,3 persen dari total MT. Di Jawa Timur, relatif sedikit, yaitu 3,1 persen dari total sasaran MT II atau seluas 14.706 hektar. Sementara di Banten kekeringan di Kabupaten Pandeglang mencapai 5.000 hektar, sedangkan di DI Yogyakarta tidak ada yang mengalami kekeringan.
Curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun, kondisi DAS yang rusak rencananya hendak dikendalikan dengan prasarana irigasi. Namun, apa daya, kondisi prasarana irigasi yang dibangun pemerintah serta waduk dan saluran irigasi pun banyak yang rusak parah. Dari total jaringan irigasi di Pulau Jawa seluas 3,28 juta hektar, 379,761 ribu hektar rusak.
Menurut Roestam, kerusakan sebesar lebih dari 10 persen ini amat mengganggu. Padahal, upaya untuk menyeimbangkan debit maksimum dan minimum yang perbedaannya semakin tajam kalau tidak mampu diserap DAS bisa efektif dengan pembangunan waduk. Hujan yang jatuh di hulu karena kondisi DAS rusak semua mengalir ke bawah, ditampung waduk. Kemudian pada waktu musim kemarau, ada cadangan air untuk mengairi, air baku, dan kebutuhan lainnya.
JUMLAH potensi air yang dikendalikan baru 10 persen dari total air yang jatuh. Walau di Jawa paling banyak waduk, namun kondisi muka airnya tidak sesuai rencana.
Di Jawa Barat dan Banten, pada DAS Citarum, yaitu Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata, volume ketiganya tinggal 57,6 persen dari volume rencana pada tanggal 15 Juli. Di waduk Djuanda, tinggi air tinggal 86,89 m, padahal tinggi muka air terendah untuk operasi PLTA adalah 75 meter. Dengan demikian, kalau tiap hari muka air waduk Djuanda turun 20 sentimeter, pada pertengahan September PLTA di waduk tersebut akan terhenti.
Di Jawa Tengah, Waduk Kedungombo kering dengan tinggi air 0,33 m di bawah tinggi air siaga kering (77.86 m). Waduk Wonogiri untuk MT II diperkirakan masih cukup, sementara untuk MT III hanya bisa mengairi 35 persen luas lahan yang ada hingga habis pada 15 Okt 2003. Waduk Cacaban sedang dilakukan pengeringan. Di Jawa Timur, waduk di DAS Brantas, yaitu Sutami, Selorejo, dan Wonorejo masih dalam kondisi normal. Kadang-kadang air cukup. Namun, sistem irigasi yang tidak baik seperti misalnya saluran irigasi penuh lumpur. Jadi, datang dari hulu cukup, namun di hilir menjadi sangat berkurang karena tertahan oleh lumpur. Dengan demikian, petani merasa air yang diperolehnya tidak cukup atau tidak ada sama sekali.
Masalahnya, hal ini sangat tergantung kemampuan memelihara prasarana pengairan yang dalam hal ini berarti juga biaya pemeliharaan. Sekitar 40-50 persen ditanggung oleh pemerintah. Untuk daerah diberikan di antaranya dana alokasi khusus (DAK) untuk spesifik pemeliharaan prasarana irigasi. Evaluasi atas pemeliharaan saluran irigasi bisa menjadi rapor bagi daerah.
Selain biaya investasi, operasional, dibutuhkan biaya konservasi sumber air, sesuatu yang menjadi sasaran pemerintah dalam RUU Sumber Daya Air. Masyarakat memandang ini sebagai privatisasi air, nanti semua untuk dapat air harus bayar. Sementara pemerintah, menurut Roestam, beranggapan, masyarakat akan mendapat air sesuai dengan kemampuannya. Semakin tinggi seseorang berani membayar, semakin tinggi kualitas air yang diperolehnya.
Sementara itu, bagi masyarakat tidak mampu, pemerintah berjanji akan menyediakan berbagai fasilitas seperti tangki- tangki air di mana hal ini berupa subsidi. "Itu yang sekarang sedang dibahas di RUU Sumber Daya Air," kata Roestam. Pemerintah selalu menyatakan tidak memiliki uang, bahkan untuk pemeliharaan prasarana dan konservasi. Janjinya dana dari pembayaran air bersih orang-orang yang mampu akan digunakan untuk prasarana dan konservasi.
Menurut Roestam, rehabilitasi DAS kritis, per hektar dibutuhkan Rp 5 juta-Rp 6 juta. Luas lahan kritis di Indonesia mencapai 3 juta hektar, sebagian besar ada di Jawa, yang menurut catatan Kompas berjumlah 2,481 juta hektar. Dihitung-hitung dibutuhkan Rp 12,405 triliun untuk rehabilitasi DAS. (EDN/TRI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Saudaraku telah berbagi, semoga apapun masukan Saudaraku akan bermanfaat bagi kami.